News
Kasus Kekerasan Seksual Guru Besar UGM: Dr. I Made Subagio, S.H., M.H., Sebut Ini Tamparan Keras bagi Dunia Pendidikan
Kamis, 17 April 2025
Tim gusti dalem law firm
JAKARTA | Dunia pendidikan kembali tercoreng oleh kasus kekerasan seksual. Kali ini, melibatkan sosok yang seharusnya menjadi panutan: “EM”, Guru Besar Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta. Ia diduga terlibat dalam kasus pelecehan seksual terhadap mahasiswanya sendiri, dengan modus bimbingan akademik dan diskusi kegiatan kampus.
Kasus ini diduga terjadi secara berulang sejak tahun 2023 hingga 2024, baik di lingkungan kampus maupun di kediaman pribadi EM. Saat ini, UGM telah meminta keterangan dari 13 orang saksi, dan meskipun belum diungkap secara resmi identitas korban, pihak kampus menyatakan bahwa para korban telah mendapatkan pendampingan. EM sendiri telah dibebas tugaskan dari pelaksanaan Tri Dharma Perguruan Tinggi untuk kepentingan penyelidikan.
Dr. I Made Subagio, S.H., M.H., "Ini Tidak Sekadar Kasus, Ini Luka Sosial"
Menanggapi kasus tersebut, Dr. I Made Subagio, S.H., M.H., pengacara senior dan akademisi asal Nusa Penida, Klungkung, menyampaikan keprihatinan mendalam. Ia menyebut, kasus ini merupakan tamparan keras bagi dunia akademik yang seharusnya menjadi ruang aman bagi mahasiswa untuk tumbuh dan berkembang secara intelektual maupun moral.
"Kasus ini tidak bisa dipandang sebagai pelanggaran etik semata. Ini adalah “delik pidana” dan bentuk penyalahgunaan otoritas akademik. Dunia pendidikan kita sedang mengalami krisis moral ketika ruang bimbingan akademik dijadikan alat manipulasi seksual," ujar Dr. I Made Subagio, S.H., M.H., yang juga Managing Partner di Gusti Dalem Pering Law Firm.
Ia menegaskan bahwa secara hukum, tindakan EM jika terbukti, bisa dijerat dengan Pasal 289 KUHP tentang pencabulan, atau bahkan Pasal 285 KUHP tentang perkosaan, tergantung pada tingkat kekerasan, tekanan, atau manipulasi yang dilakukan terhadap korban.
"Apalagi, hubungan antara dosen dan mahasiswa adalah relasi kuasa yang timpang. Jika terjadi pemaksaan dalam situasi bimbingan atau ketergantungan akademik, maka itu masuk ke dalam kategori coercive seksual abuse, dan sangat memberatkan pelaku dalam proses hukum," jelasnya.
Budaya Kampus yang Masih Tertutup
Dr. I Made Subagio, S.H., M.H., juga menyoroti akar persoalan kekerasan seksual di perguruan tinggi yang tak kunjung reda. Menurutnya, selain karena lemahnya sanksi, persoalan utamanya terletak pada budaya akademik yang patriarkal dan tertutup.
“Sering kali kampus menyikapi masalah ini secara internal dan tertutup, seolah menjaga reputasi lebih penting daripada menyelamatkan korban. Ini yang harus diubah. Transparansi dan keberpihakan kepada korban adalah kunci,” tegasnya.
Ia pun mendesak agar kampus tidak berhenti pada pemrosesan etik semata, tetapi mendorong korban untuk melapor ke aparat penegak hukum, dan memberikan pendampingan hukum serta psikologis yang memadai.
Momentum Reformasi Sistemik
Menurut Dr. I Made Subagio, S.H., M.H., kasus EM bisa menjadi momentum untuk mendorong reformasi sistemik di dunia pendidikan tinggi. Kampus harus memiliki unit khusus pencegahan kekerasan seksual yang bekerja independen, serta mekanisme pengaduan yang aman dan berpihak pada korban.
Baca juga:
BREAKING NEWS: Tiga Pria Ditahan Terkait Pemukulan Pecalang Saat Karya IBTK di Pura Besakih
"Selama ini korban sering takut bicara karena takut IPK-nya rusak, takut disalahkan, atau bahkan dikucilkan. Kita harus membangun budaya kampus yang tidak menoleransi predator berkedok dosen atau pembimbing," ujarnya.
Kasus yang menimpa EM bukan sekadar persoalan individu, tetapi cermin dari masalah struktural dalam dunia akademik. Pendidikan seharusnya mencerdaskan, bukan menyakiti. Sebuah kepercayaan publik telah rusak, dan butuh waktu serta komitmen nyata dari semua pihak untuk memulihkannya. (TimNewsyess)
TAGS :