News
KPK Diminta Usut Tuntas Kasus Korupsi APD di Kemenkes, Mahasiswa dan Aktivis Gelar Aksi di Jakarta**
Rabu, 12 Juni 2024
Aksi demo di Jakarta
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI diminta untuk mengusut tuntas dan menangkap pelaku kasus dugaan korupsi pengadaan Alat Pelindung Diri (APD) di Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Desakan ini mengemuka dalam aksi unjuk rasa yang digelar pada Rabu, 22 Mei 2024, oleh Komunitas Mahasiswa Pemuda Anti Korupsi (KAMPAK) bersama Aktivis Bali.
Dalam aksi tersebut, KAMPAK dan aktivis Bali meminta dan mendesak KPK untuk segera menetapkan Gde Sumarjaya Linggih alias Demer sebagai tersangka atas dugaan korupsi proyek pengadaan APD di Kemenkes yang berlangsung antara tahun 2020 hingga 2022. Koordinator Aksi KAMPAK, Imam Martua Sahala, menegaskan bahwa mereka telah bersurat kepada Polda Metro Jaya dan mengerahkan sekitar 50 mahasiswa untuk melakukan aksi unjuk rasa di Kantor KPK RI demi penegakan hukum.
"Soal bersalah dan tidak bersalah itu kewenangan KPK, bukan wewenang siapa pun. Namun, kami tetap mempertanyakan dua alat bukti yang sudah menjadi temuan BPK," ujar Imam.
Saat pelepasan bus KPK, Imam mengungkapkan bahwa pihaknya diminta keterangan oleh Polda Metro Jaya dan KPK RI terkait tujuan aksi unjuk rasa tersebut. Imam menekankan bahwa aksi ini dilandasi oleh kecintaan dan rasa sayang terhadap KPK RI, serta dorongan agar KPK menegakkan hukum yang anti korupsi.
"Demi cinta pada KPK dan untuk menunjukkan bahwa KPK tidak ragu dalam menegakkan hukum, saya berorasi dari Bali ke Gedung KPK RI di Jakarta. Gde Sumarjaya Linggih telah dipanggil dua kali sebagai saksi dalam kasus ini yang telah merugikan negara hingga Rp 600 miliar," tegasnya.
Dalam orasi tersebut, Imam juga menyoroti bahwa kasus ini menyangkut nyawa manusia di seluruh Indonesia, terutama saat pandemi Covid-19. Sangat disayangkan jika ada pejabat yang seharusnya mengontrol bantuan pemerintah justru terlibat dalam korupsi.
"KPK harus menunjukkan integritasnya dan tidak terlibat dalam permainan mata dengan saksi yang sudah diperiksa. Kami akan terus mengawal kasus ini hingga ada kejelasan bahwa KPK bekerja sesuai prinsipnya tanpa pandang bulu. Siapapun yang melakukan tindakan korupsi harus diproses sesuai perundang-undangan," tegas Imam lagi.
Menurut hasil kajian KAMPAK, Gde Sumarjaya Linggih masih menjabat sebagai Komisaris PT Energi Kita Indonesia (EKI) pada saat proyek APD berjalan, dan saat ini masih duduk sebagai Anggota Komisi VI DPR RI Dapil Bali dari Partai Golkar. Imam menyebut bahwa begitu mendapat posisi di PT EKI ini melalui Penunjukan Langsung (PL) dari Kemenkes, Gde Sumarjaya Linggih mengganti posisinya sebagai Komisaris dengan anaknya yang kini menjabat sebagai Anggota DPRD Bali.
"Begitu ia mendapat posisi di PT EKI ini melalui Penunjukan Langsung dari Kemenkes, ia mengganti nama Komisaris dari dirinya ke anaknya yang kini menjabat sebagai Anggota DPRD Bali. Ini jelas akal-akalan saja," ungkap Imam.
Dalam wawancara Podcast #jegbalipodcast, Gde Sumarjaya Linggih mengaku hanya sebentar menjabat sebagai Komisaris karena berupaya mencarikan investor untuk PT EKI. Namun, faktanya PT EKI ditunjuk langsung untuk menyediakan 5 juta APD pada 28 Maret 2020. Berdasarkan pengumuman hasil Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) PT EKI di Media Indonesia pada 2 Juli 2020, Agung Bagus Pratiksa Linggih, anak dari Gde Sumarjaya Linggih, menjadi Komisaris PT EKI.
"PT EKI mendapatkan proyek APD Covid-19 senilai Rp 3,03 triliun melalui Penunjukan Langsung dari Kemenkes," jelas Imam.
Imam menegaskan bahwa Gde Sumarjaya Linggih diduga memanfaatkan posisinya di DPR RI untuk melobi proyek tersebut.
"Bersama KAMPAK dan aktivis Bali, kami datang ke Jakarta, gedung KPK RI untuk menyuarakan dugaan korupsi alat APD yang melibatkan Gde Sumarjaya Linggih dari Fraksi Partai Golkar," terangnya.
Temuan BPK juga menunjukkan bahwa PT EKI belum memiliki izin saat mengikuti tender. Namun, setelah mendapat Penunjukan Langsung, posisi Komisaris digantikan oleh Agung Bagus Pratiksa Linggih. Imam berharap, jika Gde Sumarjaya Linggih tidak bersalah, segera diumumkan. Namun, jika terbukti bersalah, proses hukum harus berjalan.
KPK RI juga diminta untuk cepat mengungkap dan menyelesaikan kasus korupsi APD di Kemenkes. Meskipun anggota DPR RI dari Partai Golkar tersebut sudah dua kali dipanggil KPK RI dan ada temuan BPK, hingga kini belum ada tindak lanjut terkait kasus tersebut.
"Penegakan hukum harus transparan dan sesuai peraturan perundang-undangan di Indonesia. KPK harus berani mengumumkan hasil pemeriksaan," tandas Imam.
Ditegaskan lagi, seorang anggota DPR RI tidak boleh mengikuti tender. Pemerintah, dalam hal ini KPK, berhak menentukan sikap agar rakyat puas dengan kinerja KPK yang sudah terlihat dengan adanya temuan BPK, sehingga KPK dinilai sudah bisa menaikkan status saksi menjadi tersangka.
"Ada temuan BPK harus diproses. Kami ingin mengawal ini agar hukum benar-benar ditegakkan. Jangan sampai hukum tumpul ke atas, tajam ke bawah. Karena kecintaan pada KPK RI, kami sengaja datang dari Bali di akhir Mei 2024 hanya untuk menyuarakan agar hukum ditegakkan. KPK harus berani mengumumkan hasil pemeriksaan," pungkasnya.
TAGS :
Polling Dimulai per 1 Juli 2024