Tokoh
Anak Agung Gde Mayun Purnama: Antara Kepemimpinan dan Takdir Sebagai Dalang Wayang Gedog
Sabtu, 08 Maret 2025
Anak agung gde mayun permana
Gianyar, Newsyess.com – Ada sisi lain dari seorang Anak Agung Gde Mayun Purnama, Kepala Desa Petak, Gianyar. Di balik kesibukannya sebagai pemimpin desa, ia menyandang takdir sebagai dalang. Sebuah warisan leluhur yang pada awalnya ia hindari, namun takdir berkata lain. Lewat perjalanan spiritual dan cobaan hidup, ia akhirnya menerima panggilan suci itu dan kini mengabdikan dirinya untuk seni dan yadnya.
Warisan Leluhur yang Tak Bisa Ditolak
"Saya sebenarnya tidak suka wayang," ujarnya jujur. Namun, garis keturunan tidak bisa dibantah. Sejak zaman Kerajaan Pejeng tahun 1786, leluhurnya telah menjadi dalang. Dari buyut, kakek, ayah, hingga dirinya, tradisi ini terus berlanjut.
Saat masih di Denpasar, ia hidup jauh dari dunia pedalangan. Namun, dalam tidurnya, leluhur terus memanggil. “Mimpi-mimpi itu datang berulang. Hingga akhirnya ekonomi saya jatuh. Proyek besar yang saya garap tidak jelas hasilnya,” kenangnya.
Saat itulah sang istri menyarankan kembali ke rumah adat. "Bersihkan diri dulu," kata istrinya. Setelah upacara pembersihan di griya dan pedanda, sesuatu yang ajaib terjadi. Tawaran mendalang tiba-tiba datang, meski ia sama sekali belum memahami pakem dan cerita pewayangan.
"Saya baca satu malam, besoknya sudah bisa mendalang. Saya juga heran, kok bisa? Seperti ada yang membimbing saya," ujarnya. Saat itulah ia menyadari bahwa taksu leluhur benar-benar turun kepadanya.
Dari Kesulitan Hidup Menuju Kedamaian
Kehidupan yang sempat carut-marut mulai berubah setelah ia kembali ke jalur leluhur. “Setelah mendalang, hidup saya tenang, walau tanpa uang. Dan dari ketenangan itu, rezeki datang dengan sendirinya,” tuturnya.
Wayang yang ia bawakan bukan sekadar hiburan, melainkan bagian dari yadnya suci. Ia lebih sering memainkan wayang gedog, sebuah pertunjukan sakral yang berfungsi sebagai pemuput upacara yadnya. "Wayang ini bagian dari pancagita lima suara suci dalam upacara Hindu," jelasnya.
Pancagita terdiri dari suara kulkul (kentongan suci), bajra pendeta, kidung, dalang, dan gamelan. Semua ini berperan dalam menyucikan lingkungan, baik di pura maupun rumah-rumah umat. "Bahkan, hanya dengan mendengar wayang, seseorang bisa mengalami pembersihan diri," tambahnya.
Antara Jabatan dan Pengabdian Spiritual
Menjadi kepala desa dan dalang bukan perkara mudah. Ia harus membagi waktu dengan cermat. "Pagi saya di kantor, siang saya ngayah mendalang. Setelah upacara selesai, saya kembali ke kantor lagi. Semua berjalan tanpa beban," katanya santai.
Pengabdiannya sebagai dalang bukan soal materi. "Saya tidak pernah menetapkan tarif. Berapa pun sesari yang diberikan umat, saya terima dengan ikhlas. Karena yadnya adalah pengorbanan yang tulus," tegasnya.
Menjaga Warisan Seni untuk Generasi Selanjutnya
Sebagai generasi kelima dalang dalam keluarganya, ia berharap anak-anaknya bisa meneruskan tradisi ini. "Bakat itu sudah ada, tinggal menunggu waktu saja," ujarnya.
Selain itu, ia ingin membentuk komunitas "Mangku Dalang" di Gianyar. "Banyak dalang di sini, tapi masih berjalan sendiri-sendiri. Jika bersatu, kita bisa saling membantu dalam upacara yadnya," harapnya.
Baginya, seni wayang bukan sekadar hiburan, tetapi warisan suci yang harus dilestarikan. "Seni ini tidak bisa dinilai dengan uang. Ini adalah pusaka yang harus dijaga," katanya penuh keyakinan.
Baca juga:
Desa Petak Luncurkan Program
Di tengah modernisasi yang semakin menggerus nilai budaya, Anak Agung Gde Mayun Purnama tetap teguh menjaga tradisi. Ia bukan hanya seorang kepala desa, tetapi juga penjaga warisan leluhur, memastikan taksu pedalangan tetap hidup di tanah Bali. (TimNewsyess)
TAGS :