Tokoh

Dinamika Kompleks Sektor Keuangan Indonesia di Tahun 2025: Tantangan dan Peluang Oleh: Prof. Dr. Ida Bagus Raka Suardana, SE., MM – Dekan FEB Undiknas Denpasar

 Kamis, 20 Februari 2025

Dinamika Kompleks Sektor Keuangan Indonesia di Tahun 2025: Tantangan dan Peluang Oleh: Prof. Dr. Ida Bagus Raka Suardana, SE., MM

Newsyess.com, Denpasar. 

 

Oleh: Prof. Dr. Ida Bagus Raka Suardana, SE., MM – Dekan FEB Undiknas Denpasar

DENPASAR | Newsyess.com - Pasca peluncuran delapan kebijakan ekonomi baru yang diumumkan oleh Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran, outlook sektor keuangan Indonesia di tahun 2025 diprediksi menghadapi dinamika yang kompleks dan penuh tantangan. Salah satu kebijakan utama yang diumumkan adalah penetapan kewajiban bagi eksportir sumber daya alam (SDA), kecuali minyak dan gas, untuk menahan seluruh devisa hasil ekspor (DHE) di dalam negeri selama minimal satu tahun. Langkah strategis ini diharapkan dapat meningkatkan cadangan devisa negara hingga mencapai 80 miliar dolar AS, memperkuat stabilitas nilai rupiah, serta mendukung pembiayaan pembangunan nasional.

Namun, di tengah optimisme tersebut, proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2025 diperkirakan stagnan di kisaran 5%, jauh dari target ambisius pemerintah sebesar 8%. Penurunan jumlah kelas menengah—yang semula mencapai 60 juta orang pada tahun 2018 dan turun menjadi 47,9 juta pada tahun 2024—serta dominasi sektor informal yang menyumbang 59% dari total tenaga kerja, dinilai turut berkontribusi pada lemahnya konsumsi domestik dan pendapatan pajak.

Dalam upaya menjaga stabilitas moneter di tengah ketidakpastian global, Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan pada level 5,75%. Meskipun demikian, BI tidak menutup kemungkinan adanya penurunan suku bunga di masa mendatang sebagai upaya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, tentunya dengan tetap memperhatikan dinamika ekonomi global yang terus berubah.

Di sisi fiskal, pemerintah telah mengumumkan pemotongan anggaran sebesar 306 triliun rupiah melalui langkah efisiensi. Pemotongan ini terdiri dari 256 triliun rupiah yang berasal dari kementerian dan lembaga, serta 50 triliun rupiah dari transfer ke pemerintah daerah. Meski sebelumnya Presiden Prabowo sempat menyebut angka pemotongan mencapai 750 triliun rupiah, kebijakan efisiensi ini bertujuan untuk mengalihkan dana ke aktivitas yang lebih produktif dan memberikan manfaat ekonomi yang lebih signifikan.

Untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi sebesar 8%, pemerintah diharapkan fokus pada reformasi struktural yang mendalam. Peningkatan investasi di sektor manufaktur dan penciptaan lapangan kerja formal menjadi salah satu prioritas utama. Selain itu, diversifikasi ekonomi dengan mengurangi ketergantungan pada sektor komoditas serta mendorong pengembangan industri bernilai tambah tinggi merupakan kunci untuk memperkuat daya saing Indonesia di pasar global. Sinergi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sangat diperlukan guna menciptakan iklim usaha yang kondusif serta meningkatkan produktivitas nasional.

Dalam konteks kebijakan moneter, koordinasi yang erat antara BI dan pemerintah menjadi sangat penting untuk memastikan stabilitas makroekonomi. Penyesuaian suku bunga yang tepat waktu, dikombinasikan dengan kebijakan fiskal yang ekspansif namun terukur, diyakini dapat menjadi formula efektif dalam mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Di samping itu, penguatan sektor keuangan melalui peningkatan inklusi keuangan dan akses permodalan bagi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) diharapkan menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif dan merata.

Dalam pandangan ini, sektor keuangan Indonesia akan terus diuji oleh berbagai dinamika kebijakan dan kondisi global yang kompleks. Namun, dengan sinergi antara kebijakan moneter, fiskal, dan reformasi struktural yang terintegrasi, diharapkan Indonesia mampu menghadapi tantangan tersebut serta mengukir peluang untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang lebih optimal dan berkelanjutan di masa depan. (TimNewsyess)


TAGS :