Tokoh

DODOL SATUH: MEMAKNAI LEBIH DALAM HARI SUCI GALUNGAN

 Senin, 23 September 2024

DODOL SATUH: MEMAKNAI LEBIH DALAM HARI SUCI GALUNGAN

Newsyess.com, Buleleng. 

 

Oleh: I K. Satria  
Penyuluh Agama Kemenag Kabupaten Buleleng, Ketua PHDI Desa Adat Pedawa, Ketua Pasraman Pasir Ukir

Hari Suci Galungan, yang dirayakan setiap 210 hari sekali dalam kalender Pawukon Bali, selalu diiringi dengan kemeriahan. Penjor megah berdiri di depan rumah-rumah umat Hindu, menghiasi jalan-jalan di seluruh Bali dengan ornamen-ornamen khas yang memukau. Suasana ini kian terasa di pasar-pasar tradisional maupun modern, di mana umat Hindu sibuk mempersiapkan berbagai sarana upacara dan bahan-bahan untuk ritual persembahan. Galungan diyakini sebagai peringatan kemenangan Dharma melawan Adharma, dan salah satu ciri khasnya adalah tradisi Penampahan Galungan, hari di mana hewan kurban, seperti babi, dipersembahkan dalam rangkaian yadnya.

Namun, di balik kemeriahan itu, tersimpan makna spiritual yang dalam melalui dua jenis kue khas yang dipersembahkan, yakni dodol dan satuh. Kedua kue olahan dari ketan ini tak pernah absen dalam setiap persembahan pada Hari Suci Galungan. Meski terlihat sederhana, dodol dan satuh ternyata menyimpan filosofi yang mendalam tentang kehidupan, kebenaran, dan ketidakbenaran.

Proses Pembuatan Dodol dan Satuh

Sebelum mendalami makna kedua kue ini, kita perlu memahami bagaimana dodol dan satuh dibuat. Dodol adalah olahan dari tepung ketan hitam (injing), tepung beras, dan tepung ketan putih yang diaduk bersama santan dan gula merah. Proses memasaknya membutuhkan waktu hingga tiga jam, di mana adonan harus terus diaduk hingga mengental dan matang. Semakin lama diaduk, semakin berat dan sulit, namun inilah yang membuat dodol matang sempurna. Setelah itu, dodol dibungkus dengan kulit jagung.

Berbeda dengan dodol, satuh terbuat dari ketan putih yang disangrai, lalu dihaluskan menjadi tepung dan dicampur dengan gula merah. Adonan satuh kemudian dibentuk menjadi bulat dan dibungkus dengan daun pisang kering (kraras).

Kedua jenis kue ini tidak hanya menjadi pelengkap persembahan, tetapi juga dikonsumsi sebagai pradham atau lungsuran setelah upacara selesai. Bagi masyarakat Bali, kue-kue ini memiliki tempat istimewa dalam setiap perayaan Galungan.

Makna Filosofis Dodol dan Satuh

Dalam Bahasa Kawi, kata “dodol” berasal dari kata “duad” yang berarti ketidakbenaran atau kepalsuan, dan dual yang berarti benda atau barang. Dengan demikian, dodol memiliki makna mendalam sebagai simbol benda yang penuh dengan kepalsuan. Sementara itu, kata “satuh” berasal dari kata satuwuh yang bermakna kekekalan atau selamanya. Dengan gabungan kedua kue ini, muncul pesan yang kuat tentang barang atau benda yang penuh dengan kepalsuan yang bertahan selamanya.

Dalam konteks Hari Suci Galungan, kedua kue ini mengingatkan umat untuk berusaha menghancurkan sifat-sifat tidak benar atau kepalsuan dalam kehidupan. Galungan sendiri berasal dari kata dungulan, yang bermakna penghancuran atau pengerusakan. Oleh karena itu, Galungan tidak hanya sekadar perayaan kemenangan Dharma melawan Adharma, tetapi juga upaya spiritual untuk menghancurkan segala bentuk kepalsuan yang ada dalam diri manusia.

Seperti yang tertulis dalam Lontar Sundarigama, "Buda Kaliwon Galungan adalah hari untuk memusatkan pikiran sehingga menjadi terang benderang dengan cara menghentikan segala kegelisahan pikiran." Hari Galungan mengingatkan umat Hindu untuk mengalahkan kebohongan dalam diri, keinginan duniawi yang berlebihan, dan segala hal yang membuat manusia terjerumus dalam kegelapan atau avidya.

Rangkaian Galungan: Proses Pembersihan Diri

Perayaan Galungan dimulai dengan beberapa rangkaian hari suci yang memiliki makna penyucian diri. Dimulai dari Sugihan Jawa untuk menyucikan Bhuwana Agung (alam semesta), dilanjutkan dengan Sugihan Bali yang memfokuskan pada penyucian Bhuwana Alit (mikrokosmos, tubuh manusia). Selanjutnya, Panyekeban dan Panyajahan adalah saat untuk mengendalikan pikiran dan nafsu, menghadapi godaan duniawi, dan mulai berupaya mencapai pencerahan. Puncaknya adalah Penampahan Galungan, di mana sifat-sifat negatif harus dikendalikan dan dilenyapkan.

Galungan menjadi momen puncak untuk mengalahkan semua bentuk adharma dalam diri kita. Dengan merenungkan makna dodol dan satuh, umat Hindu diingatkan akan perjuangan spiritual yang harus dilakukan untuk mencapai pencerahan. Seperti dodol yang membutuhkan tenaga untuk diaduk hingga matang, demikian pula hidup ini memerlukan perjuangan yang terus-menerus untuk memurnikan diri dari segala ketidakbenaran.

Kemenangan Dharma: Penghancuran Kepalsuan

Hari Suci Galungan bukan hanya perayaan kemenangan Dharma melawan Adharma secara fisik, tetapi juga kemenangan dalam melawan ilusi duniawi dan sifat-sifat buruk yang bersembunyi dalam diri kita. Dodol dan satuh menjadi simbol dari ketidakbenaran yang harus dihancurkan selamanya, agar umat Hindu dapat mencapai pencerahan dan kebahagiaan sejati.

Dengan pemahaman yang lebih mendalam tentang dodol dan satuh, kita dapat merenungkan bahwa kemenangan sejati tidak hanya ada di luar diri, tetapi juga di dalam hati dan pikiran kita. Selamat Hari Suci Galungan, semoga kemenangan Dharma melawan Adharma membawa pencerahan dan kedamaian bagi kita semua.


TAGS :



Siapa Calon Bupati Badung Terfavorit Pilihan Anda?

Polling Dimulai per 1 Juli 2024