News

Memaknai tumpek wayang HARI SUCI ME-REFLEKSI DIRI

 Selasa, 21 November 2023

Unhi denpasar

Newsyess.com, Gianyar. 

Oleh : Ni Putu Dewi Pradnyan, S.Fil.,M.Ag
Bagaimana tidak, bagi kita Umat Hindu untuk selalu ingin tahu dan mengetahui tentang makna-makna hari suci yang ada. Begitu banyak hari suci yang mesti didalami makna serta bagaimana sepatutnya menjalankan hari suci itu. Salah satunya adalah tumpek wayang yang lahir pada hari terakhir pada wuku wayang. Jika kita melihat upaya pemerintah untuk lebih melihat makna dan pelaksanaan tumpek melalui program nangun sad kerti loka bali, maka kita melihat ada sad kerthi yang perlu untuk diwujudnyatakan sebagai umat Hindu di Bali. Melalui pelaksanaan secara sekala dan niskala hari suci tumpek sesungguhnya adalah upaya nyata terkait hal itu. Dalam sad kerthi ada dikenal dengan atma kerthi yang artinya menjaga keharmonisan sang penyebab hidup (Atma yang dalam diri manusia disebut dengan Jiwatman). Bukankah jiwa kita adalah cerminan dari anugerah kehidupan yang diberikan oleh Tuhan kepada Kita? Hal inilah yang perlu kita refleksi dan renungkan sekaligus sebagai upaya memaknai hari suci ini. 
Apa itu tumpek wayang? Untuk melihat hal ini bisa kita pahami dasar sastra sebagai berikut. Dalam Lontar Sundarigama kurang lebih mengatakan “……saniscara keliwon wuku wayang, pujawali Bhatara Iswara, Pangastawania Sarwa tetabuhan gong, gambang, gender, salwiring pahimpun himyan. Widhi wedhaninia : Suci, Peras, ajengan, iwaknia itik putih, sedah wohan, canang merakam pasucen,…… dalam suratan lontar ini mengetengahkan bahwa tumpek wayang adalah pujawali yang dihaturkan kehadapan Ida Bhatara Iswara. Dengan mengupacarai wayang dan peralatannya. Pemujaan kepada Hyang Iswara juga bermakna sebagai permohonan pencerahan. Sebab lingga beliau ada ditimur dimana dari situlah matahari terbit dan memberikan pencerahan dan kehidupan kepada umatnya. 
Jika kita lihat lebih dalam, kisah-kisah dalam lontar mengenai pertunjukkan wayang menyimbolkan dua kekuatan besar yang akan selalu ada di dunia ini (rwabhineda) yaitu angkara murka dan kebajikan. Maka untuk selalu memuliakan dan menyematkan kebajikan pada diri maka upaya pencerahan berupa ilmu pengetahuanlah yang semestinya digunakan untuk mengalahkan keangkaramurkaan. Hal ini menjadi benar karena pada setiap pertunjukan wayang pastilah berisi petuah-petuah yang berkaitan dengan pencerahan bagi manusia yang sesungguhnya tergelapkan oleh duniawi. Sebagaimana dalam Tantu Pagelaran, menceritakan pula asal mula pertunjukan wayang kulit, dimana Bhatara Siwa yang sedang berwujud Kala Rudra ingin membinasakan semua mahluk karena terlalu pekat aroma angkara murka.  Turunlah kemudian Dewa Iswara sebagai dalang yang didampingi oleh Dewa Brahma dan Dewa Wisnu dengan mempertunjukkan wayang kulit dan menceritakan siapa sebenarnya Kala Rudra. Pada intinya bahwa Tumpek Wayang mengingatkan tentang dunia yang telah dipenuhi dengan angkara murka, kegelapan dan kebodohan. Yang perlu dilakukan senantiasa adalah melakukan penyeimbangan atas hal-hal negatif dengan hal-hal yang positif.
Refleksi sesungguhnya adalah ketika kita menggunakan ilmu pengetahuan sebagai dasar fikiran, perbuatan dan perkataan kita. Secara serius mengetengahkan bahwa apa yang difikirkan maka hal itulah yang dikatakan dan yang dilakukan maka akan mampu memberikan penerangan bahwa kita sedang berada pada jalur yang benar untuk mencapai suatu tujuan kehidupan. Tumpek wayang menyiratkan bahwa jiwa yang suci yang menjadi sumber hidup pada kehidupan kita, sedang terselubungi oleh keduniawian. Pada saat inilah kita berkaca, kita bercermin pada diri entah apa yang sudah dilakukan dan apa hendak untuk kita capai demi kebaikan hidup kita kedepan.  
Berpijak dari landasan berfikir itu maka jelas kita mesti mengasah jnana kita pada hari tumpek wayang itu. Secara ritual apakah yang mestinya kita lakukan? Maka marilah kita simak dari lontar berikut : Dalam lontar Sundarigama dijelaskan “…..Sukra Wage Kalapaksa ngaran wekata mecampur, matangian ikang wwang sayogya maseselat, dening apuk hamemer ring bulun hatinia mwang sasuwuk rwaning pandhini tekeng umah-umah paturon, enjang enjingnia ikang sasuwuk pandan, kumalakna winadahan sidi dulurin pasegehan, bwangen ring dengen saha asep, sesapan sang ngutang wigna….” Maksudnya adalah: Hari Jumat Wage Wuku Wayang dinamakan hari Kala Paksa, hari yang tidak baik, semestinya manusia membuat tanda dengan kapur yang dilekatkan pada hulu hati. Juga patut mengadakan sasuwuk (penghambat kala) dengan daun berduri berupa pandan berduri (diolesi kapur dengan bentuk tanda tambah) lalu dipasang dibawah tempat tidur. Hal ini sudah sering kita lihat dilakukan umat, namun hanya dilakukan dan diletakan di depan pintu masuk pekarangan dan di pintu rumah, namun dalam sastra disebut diletakan di bawah tempat tidur, nah inilah yang perlu kita tambahkan. 
Lalu apa saja yang kita persembahkan pada sanggar kemulan atau Bhatara Hyang Guru? Mari kita baca pada teks sundarigama yang menyatakan bahwa pada pujawali Bhatara Iswara, untuk widiwidananya adalah Suci, peras, ajengan, ikannya itik putih sedah woh, canang raka, pasucian. Untuk manusia diharapkan untuk natab sesayut tumpeng Agung 1, prayascita, panyeneng. Tentu ritual ini adalah salah satu sarana untuk melengkapi upaya kita merefleksi diri. Mari menjadi sadar diri di hari suci dengan merefleksi. Rahajeng tumpek wayang.


TAGS :



Siapa Calon Bupati Badung Terfavorit Pilihan Anda?

Polling Dimulai per 1 Juli 2024